Kamis, 09 Januari 2014

Cerpen Diary Untuk Allah

DIARY UNTUK ALLAH
Oleh : Najla Putri Mawaddah
                                                   
                       Hari ini, waktu melesat begitu sigap. Tanpa terasa, mentari sudah menguap lesu. Ku tutup diary yang sudah setia menjadi teman curhatku.
                       “Aneh, kenapa hari-hari ini, isi dalam diaryku selalu laki-laki kalem itu? Ada apa dengan hatiku? Padahal, sekelas aja, tidak. Apa ini semua karena berawal dari musholla?”
                       Laki-laki itu, rajin mengunjungi musholla. Disanalah awal pertemuanku dengannya. Dizaman sekarang yang mulai bebas, ternyata masih ada laki-laki yang menurutku taat pada Tuhan. Mengobrol, hanya sebatas kenal. Namun, mengapa hati ini jadi berdetak tak karuan jika  bertemu dengannya?
                       “Aku bantu ya?” pintanya kala aku sedang merapihkan buku-buku perpustakaan di musholla.
                       “Nggak usah. Aku bisa rapihkan sendiri kok!” tolakku halus, berusaha untuk bisa mengendalikan hatiku yang kembali berdesir aneh.
                       “Sebentar lagi masuk kelas. Sedangkan buku-buku disini, belum ada yang rapih. Lebih baik aku bantu, biar cepat selesai.” Jelasnya lembut, tak lupa dengan menyunggingkan sebuah senyum. Aku menimang sebentar, lalu tersenyum dan mengangguk.
                       “Ya udah, terserah kamu aja. Makasih ya, udah mau bantuin!”
                       Tidak hanya itu saja, yang selalu aku rasakan dengannya. Dan karena hal itu pula, aku menjadi dekat dengannya walau jarak tetap kita jaga. Rama laki-laki yang cerdas, aktif, dan … kalem. Aku suka dengan kriterianya yang terakhir ini. Jarang sekali ada laki-laki seperti itu di suasana dunia yang hampir mengikuti jahiliah ini. Dia begitu baik mengajariku pelajaran bahasa inggris, yang selalu susah untuk aku mengerti. Aku terlanjur nyaman jika bersamanya. Mama juga sudah mengetahui tentang laki-laki itu dari curhatanku.
                       “Cinta itu awalnya permainan. Dan akhirnya kesungguhan. Dia tidak dapat dilukiskan, tetapi harus dialami agar diketahui. Karena hati ditangan Allah. Dialah yang membolak-balikkannya. Semua orang berhak untuk dicintai dan mencintai. Semua orang berhak untuk disayangi dan menyanyangi. Tetapi jika sudah tidak ada orang lagi yang bisa kamu cintai dan sayangi, dan jika sudah tidak ada orang lagi yang bisa menyanyangi dan mencintai kamu, jangan pernah lupa masih ada Allah yang akan selalu mencintai dan menyanyangi kamu. Jangan pernah menyia-nyiakan cinta dan sayang yang kamu miliki, sayang! Sebagai manusia yang tau syariat dan kaidah, kamu harus tetap bias menjaga nafsu kamu. Jangan sampai nafsu menguasaimu, nak!” Itulah perkataan mama yang selalu tersimpan dalam ingatanku. Perkataan itu juga, yang menjadi motivasiku dalam menyayangi seseorang dalam kesopanan.
***
                       Hari menutup hari, hingga tak terasa inilah hari terakhirku mengunjungi musholla. Besok akan berlangsung hari perpisahan kelas 9 tahun ajaran 2011-2012. Sesak juga rasanya. Mungkin ini perjumpaan terakhirku dengan laki-laki kalem itu. Mataku langsung terfokus pada satu titik, yang sedang duduk menyendiri menghadap arah kiblat. Rama? Kok dia sendirian aja di musholla? Batinku bertanya-tanya. Aku mencoba menghampirinya.
                       “Ram?” tegurku. Rama menoleh. Mataku seketika membelalak.
                       “Rama, kamu kenapa? Kok hidungmu keluar darah? Kamu sakit?” tanyaku khawatir.
                       Rama tersenyum hambar, lalu mencoba menghapus darah yang terlanjur keluar dengan sapu tangannya. “Aku nggak papa, Put!” ucapnya sambil bangkit berdiri, lalu memberiku sebuah kotak yang terbungkus indah. Sebuah kado untukku kah?
                       “Apa ini?”
                       “Untukmu! Buka aja.”
                       “Hah? Untukku?” tanyaku lagi, tak percaya. Namun perlahan aku mencoba membuka kotak itu. Dan terlihatlah sebuah diary bercover doraemon. Kartun kesukaanku. “Rama… kamu?” aku benar-benar tak mampu berkata.
                       “Anggap aja, itu kenang-kenangan dariku. Takut kita nggak bakal bertemu kembali. Simpan dan jaga baik-baik ya. Terima kasih, udah mewarnai hidup aku di masa putih biru ini. Senang bisa berteman dengan kamu. Aku harap, perpisahan ini, bukan perpisahan terakhir kita.” Jelas Rama lembut.
                       Mataku hampir berkaca-kaca, namun aku mampu menyembunyikannya. “Tanggal 3 nanti, aku ke pesantren.” ucapku memberitahu. Rama menunduk perlahan, lalu mendongak sambil tersenyum. “Doaku selalu menyertaimu, Put! Kita saling mmendoakan ya. Semoga pilihan ini, adalah jalan yang terbaik buat cita-cita kita nanti. Harus optimis.” responnya memberi dukungan.
                       “Iya, makasih ya. Makasih juga diarynya. Aku suka.”
                       Rama tersenyum, lalu melihat jam yang melingkari tangannya. Ia menghembuskan nafas berat. “Aku duluan ya!” pamitnya sambil berbalik lalu melangkah meninggalkanku yang hanya bisa diam tergugu. Tak lama melangkah, Rama kembali berbalik badan dan menatapku. “Put?” panggilnya. Aku mendongak ikut menatapnya. “Aku menyayangimu!” ucapnya begitu saja, lalu berbalik badan kembali dan berjalan cepat meninggalkanku.
                       Aku kaget bukan main. Mulutku terkunci tanpa kata. Namun mataku tetap tak berkedip menatap kepergian itu. Perlahan, bayangan itu menghilang dari pelupuk mataku. “Aku juga menyayangimu, Ram!” balasku pelan, setelah bayangan Rama menghilang.
***
                       Satu tahun kemudian,
                       Sang pagi datang menjemput. Ku mulai hariku, ku awali langkahku. Ku ikuti alunan kehidupan di jalan kehidupan saat sang surya timbul sepenuhnya. Ku nikmati hariku yang mengalir tenang bagaikan air. Senyuman termanis ku persembahkan pada dunia, karena hari ini, adalah hari diliburkannya seluruh santri. Walau hanya dua minggu, tapi aku bersyukur. Karena tanpa liburan, mungkin aku tidak akan bisa berjumpa kembali dengan sahabat-sahabatku. Aku tak menyangka, saat ayah dan mama mengajak Ayu sahabatku untuk ikut menjemputku.
                       Dalam perjalanan pulang, aku dan Ayu asyik bertukar cerita. Sampai Ayu mengucapkan kalimat yang sungguh membuatku tak mampu menahan air mata lagi.
                       “Penyakit leukemia yang di derita Rama, sudah semakin parah. Terakhir aku dapat kabar dari Gusti, katanya dokter yang menangani Rama, sudah hampir menyerah dengan kondisi Rama yang semakin memburuk.” Terang Ayu yang sudah mampu membuatku menangis. Aku tersadar. Bahwa selama setahun ini, aku hilang kontak dengan Rama. Tidak pernah ada kabar tentang Rama. Tidak pernah ada warna lagi yang pernah mewarnai hidupku di masa putih biru.
                       “Terus, Rama sekarang dimana Yu?” tanyaku sangat cemas.
                       “Di Rumah sakit Cipto Mangun Kusumo.”
                       “Jakarta?”
                       Ayu mengangguk. “Mamamu juga sudah tau kok, soal Rama.” Jelas Ayu.
                       “Hah, mama sudah tau?” tanyaku kaget. Mataku langsung melirik kearah mama. “Kenapa mama nggak pernah cerita?” tanyaku pada mama.
                       Mama menoleh kearahku. Terlukis sekali di wajah mama yang merasa bersalah. “Maafkan mama, Sayang! Mama cuma nggak mau kamu sedih, Nak!” terang mama. “Nanti kita jenguk Rama ya.” Lanjut mama berusaha menenangkan aku.
                       Aku hanya bisa menghembuskan nafas panjang. aku hadapkan kepalaku kearah kaca jendela mobil, mencoba menahan air mataku agar tidak tumpah kembali. Ayu hanya bisa mengelus pundakku lembut, mencoba memberiku kekuatan.
***
                       Jangan biarkan masa pergi menghilang. Karena ku kembali hanya untukmu. Langkahku terhenti pada satu titik. Sosok yang sangat lemah dengan berbagai selang yang menyelimutinya. Wajah yang dulu selalu ceria, kini tinggal bersisa kebekuan. Wajah yang sangat putih, seputih kapas. Saat itu juga aku dapat menangis. Entah mengapa air bening dimataku ini, mampu terjatuh membasahi pipiku. Ya Allah, sungguh aku takut kehilangannya.
                       “Puttt… tri…” panggilnya terbata, saat melihatku.
                       Aku terduduk disampingnya, dengan isak tangisku yang tak bisa lagi aku sembunyikan. “Rama… kenapa jadi begini sih? Kenapa kamu nggak pernah mau terbuka sama aku, tentang penyakit yang kamu alami? Aku hanya ingin lihat kamu tersenyum, Ram! Bukan ini yang ingin aku lihat!”
                       “Ma… afkan a…ku, Put! A…ku cuma ng…gak ma…u buat ka…mu se…dih. Bisa ke…nal ka…mu aja, a…ku sudah se…nang. Kamu yang su…dah buat a…ku ku…at hi…dup. Sekarang, a…ku ma…u lihat ka…mu ter…senyum, Put! Sekali ini… aja. Aku mo…hon tersenyum…lah untuk…ku! Biarkan aku per…gi mem…bawa senyuman…mu!”
                       “Bagaimana mungkin aku bisa tersenyum melihat kondisi kamu yang seperti ini, Ram? Aku nggak bisa, Ram! Nggak bisa.” Air mataku terus berjatuhan. Kini rasa takutku semakin kuat. Ya Allah, aku mohon jangan biarkan dia pergi dari hidupku.
                       “Put… aku mo…hon ter…senyumlah. Mung…kin saat ini, a…ku akan ber…temu dengan cinta…ku yang sesungguh…nya. A…ku akan ber…temu Allah! Ja…ga diri…mu baik-ba…ik ya. Ke…jar mimpi…mu! Tetap sema…ngat! Hhh…” Rama menarik nafas. “Laa… illa… haillallah…”
                       Tut…tutt…tut…tuttttt…
                       Grafik mesin pendetak jantung itu, berubah lurus beraturan. Kini aku tak mampu untuk bangkit. Aku melemas. Dan ayu berusaha untuk menjadi sandaranku, di pementasan duka ini.
***
                       “Ya Allah, aku masih punya rasa, punya cinta, karena aku manusia. Ya Allah, Engkaulah Dzat Yang Maha Cinta. Berilah aku kekuatan agar aku bisa melangkah, agar aku bisa merasakan arti hidup ini.”
                       Selesai sholat, aku melangkah menuju meja belajar, mengambil sebuah diary bercover doraemon yang sudah lama menemani hari-hariku. Sebuah kenang-kenangan dari Rama. Aku jadi ingat perkataan mama. Walau Rama sudah tidak ada lagi. Tetapi Allah masih ada dan selalu ada untukku. “Hmm… durasi yang begitu sangat singkat sebuah perjalanan kita. Namun butuh begitu lama durasi yang harus aku lupakan. Kini aku harus fokuskan pada cita-cita. Berfikir lebih dewasa. Dan tetap ikhtiar tanpa putus asa. Aku yakin, pasti Allah akan selalu membantu.” Tekatku.
Ku ambil pulpen, lalu mencoba menulis sebuah curahan hati di lembar diary bercover doraemon berikutnya. Sebuah kalimat terus mengalir dan tertuang di lembaran itu.
                       Ya Allah
                       Selalu teringat dalam memoriku
                       Masa putih biru, penuh sejuta warna
                       Dimana hatiku jatuh cinta
                       Untuk pertama kalinya
                       Ya Allah
                       Aku tau, aku masih terlalu kecil
                       Untuk merasakan itu semua
                       Aku takut hatiku tertipu nafsu
                       Karena itu, aku mencintainya dalam diam
                       Ya Allah
                       Dimasa putih abu-abu
                       Aku selalu berharap dia selalu bahagia
                       Ya Allah
                       Pertemuanku dengannya ini
                       Bukan untuk menyaksikan kepergiannya
                       Ya Allah
                       Indah cinta yang Kau beri
                       Sungguh, aku selalu menginginkan dia selalu ada
                       Dan tetap ada di dunia ini
                       Namun, jika ini adalah hal yang terbaik untukku
                       Berikanlah kekuatan di hati ini
                       Ya Allah
                       Bolehkah aku meminta satu permohonan?
                       Ya Allah
                       Kumohon kembalikan senyuman indah di dunia barunya
                       Ya Allah
                       Mungkin hanya melalui diary ini
                       Ku kirimkan curahan hatiku
                       Inilah diary untuk-Mu
                       Andai Kau masih memberiku waktu
                       Untuk lebih lama lagi melihat senyuman nyatanya…

***
MY BIODATA


Namaku Najla Putri Mawaddah. Lahir di Tangerang, 31 Januari 1996. Saat ini aku melanjutkan studyku di Pondok Pesantren Modern Al-Mizan yang terletak di Cikole, Pandeglang-Banten. Di pondok aku aktif di bagian jurnalistik yakni menjadi anggota Mizan Pos dan Techno Center. Juga aktif di bidang seni yakni Menyanyi, Menari, dan Drama. Karya-karyaku allhamdulillah selalu dipublikasikan di majalah Al-Mizan. Majalah yang diciptakan dari pondokku sendiri. Cerpenku juga pernah di publikasikan di Majalah Nur Hidayah di edisi khusus ramadhan.
No. hpku : 081911143825
My Email and facebook : story_najlapm@hotmail.com

My Twitter : @NajPutri31