DIARY
UNTUK ALLAH
Oleh
: Najla Putri Mawaddah
Hari ini, waktu melesat
begitu sigap. Tanpa terasa, mentari sudah menguap lesu. Ku tutup diary yang
sudah setia menjadi teman curhatku.
“Aneh, kenapa hari-hari
ini, isi dalam diaryku selalu laki-laki kalem itu? Ada apa dengan hatiku?
Padahal, sekelas aja, tidak. Apa ini semua karena berawal dari musholla?”
Laki-laki itu, rajin
mengunjungi musholla. Disanalah awal pertemuanku dengannya. Dizaman sekarang
yang mulai bebas, ternyata masih ada laki-laki yang menurutku taat pada Tuhan. Mengobrol,
hanya sebatas kenal. Namun, mengapa hati ini jadi berdetak tak karuan jika bertemu dengannya?
“Aku bantu ya?” pintanya
kala aku sedang merapihkan buku-buku perpustakaan di musholla.
“Nggak usah. Aku bisa
rapihkan sendiri kok!” tolakku halus, berusaha untuk bisa mengendalikan hatiku
yang kembali berdesir aneh.
“Sebentar lagi masuk
kelas. Sedangkan buku-buku disini, belum ada yang rapih. Lebih baik aku bantu,
biar cepat selesai.” Jelasnya lembut, tak lupa dengan menyunggingkan sebuah
senyum. Aku menimang sebentar, lalu tersenyum dan mengangguk.
“Ya udah, terserah kamu
aja. Makasih ya, udah mau bantuin!”
Tidak hanya itu saja,
yang selalu aku rasakan dengannya. Dan karena hal itu pula, aku menjadi dekat
dengannya walau jarak tetap kita jaga. Rama laki-laki yang cerdas, aktif, dan …
kalem. Aku suka dengan kriterianya yang terakhir ini. Jarang sekali ada
laki-laki seperti itu di suasana dunia yang hampir mengikuti jahiliah ini. Dia
begitu baik mengajariku pelajaran bahasa inggris, yang selalu susah untuk aku
mengerti. Aku terlanjur nyaman jika bersamanya. Mama juga sudah mengetahui
tentang laki-laki itu dari curhatanku.
“Cinta itu awalnya
permainan. Dan akhirnya kesungguhan. Dia tidak dapat dilukiskan, tetapi harus
dialami agar diketahui. Karena hati ditangan Allah. Dialah yang
membolak-balikkannya. Semua orang berhak untuk dicintai dan mencintai. Semua
orang berhak untuk disayangi dan menyanyangi. Tetapi jika sudah tidak ada orang
lagi yang bisa kamu cintai dan sayangi, dan jika sudah tidak ada orang lagi
yang bisa menyanyangi dan mencintai kamu, jangan pernah lupa masih ada Allah
yang akan selalu mencintai dan menyanyangi kamu. Jangan pernah menyia-nyiakan
cinta dan sayang yang kamu miliki, sayang! Sebagai manusia yang tau syariat dan
kaidah, kamu harus tetap bias menjaga nafsu kamu. Jangan sampai nafsu
menguasaimu, nak!” Itulah perkataan mama yang selalu tersimpan dalam ingatanku.
Perkataan itu juga, yang menjadi motivasiku dalam menyayangi seseorang dalam
kesopanan.
***
Hari menutup hari, hingga
tak terasa inilah hari terakhirku mengunjungi musholla. Besok akan berlangsung
hari perpisahan kelas 9 tahun ajaran 2011-2012. Sesak juga rasanya. Mungkin ini
perjumpaan terakhirku dengan laki-laki kalem itu. Mataku langsung terfokus pada
satu titik, yang sedang duduk menyendiri menghadap arah kiblat. Rama? Kok
dia sendirian aja di musholla? Batinku bertanya-tanya. Aku mencoba
menghampirinya.
“Ram?” tegurku. Rama
menoleh. Mataku seketika membelalak.
“Rama, kamu kenapa? Kok
hidungmu keluar darah? Kamu sakit?” tanyaku khawatir.
Rama tersenyum hambar,
lalu mencoba menghapus darah yang terlanjur keluar dengan sapu tangannya. “Aku
nggak papa, Put!” ucapnya sambil bangkit berdiri, lalu memberiku sebuah kotak
yang terbungkus indah. Sebuah kado untukku kah?
“Apa ini?”
“Untukmu! Buka aja.”
“Hah? Untukku?” tanyaku
lagi, tak percaya. Namun perlahan aku mencoba membuka kotak itu. Dan
terlihatlah sebuah diary bercover doraemon. Kartun kesukaanku. “Rama… kamu?”
aku benar-benar tak mampu berkata.
“Anggap aja, itu
kenang-kenangan dariku. Takut kita nggak bakal bertemu kembali. Simpan dan jaga
baik-baik ya. Terima kasih, udah mewarnai hidup aku di masa putih biru ini.
Senang bisa berteman dengan kamu. Aku harap, perpisahan ini, bukan perpisahan
terakhir kita.” Jelas Rama lembut.
Mataku hampir
berkaca-kaca, namun aku mampu menyembunyikannya. “Tanggal 3 nanti, aku ke
pesantren.” ucapku memberitahu. Rama menunduk perlahan, lalu mendongak sambil
tersenyum. “Doaku selalu menyertaimu, Put! Kita saling mmendoakan ya. Semoga
pilihan ini, adalah jalan yang terbaik buat cita-cita kita nanti. Harus
optimis.” responnya memberi dukungan.
“Iya, makasih ya. Makasih
juga diarynya. Aku suka.”
Rama tersenyum, lalu
melihat jam yang melingkari tangannya. Ia menghembuskan nafas berat. “Aku
duluan ya!” pamitnya sambil berbalik lalu melangkah meninggalkanku yang hanya
bisa diam tergugu. Tak lama melangkah, Rama kembali berbalik badan dan
menatapku. “Put?” panggilnya. Aku mendongak ikut menatapnya. “Aku menyayangimu!”
ucapnya begitu saja, lalu berbalik badan kembali dan berjalan cepat
meninggalkanku.
Aku kaget bukan main.
Mulutku terkunci tanpa kata. Namun mataku tetap tak berkedip menatap kepergian
itu. Perlahan, bayangan itu menghilang dari pelupuk mataku. “Aku juga
menyayangimu, Ram!” balasku pelan, setelah bayangan Rama menghilang.
***
Satu tahun kemudian,
Sang pagi datang
menjemput. Ku mulai hariku, ku awali langkahku. Ku ikuti alunan kehidupan di
jalan kehidupan saat sang surya timbul sepenuhnya. Ku nikmati hariku yang
mengalir tenang bagaikan air. Senyuman termanis ku persembahkan pada dunia,
karena hari ini, adalah hari diliburkannya seluruh santri. Walau hanya dua
minggu, tapi aku bersyukur. Karena tanpa liburan, mungkin aku tidak akan bisa
berjumpa kembali dengan sahabat-sahabatku. Aku tak menyangka, saat ayah dan
mama mengajak Ayu sahabatku untuk ikut menjemputku.
Dalam perjalanan pulang,
aku dan Ayu asyik bertukar cerita. Sampai Ayu mengucapkan kalimat yang sungguh
membuatku tak mampu menahan air mata lagi.
“Penyakit leukemia yang
di derita Rama, sudah semakin parah. Terakhir aku dapat kabar dari Gusti,
katanya dokter yang menangani Rama, sudah hampir menyerah dengan kondisi Rama
yang semakin memburuk.” Terang Ayu yang sudah mampu membuatku menangis. Aku
tersadar. Bahwa selama setahun ini, aku hilang kontak dengan Rama. Tidak pernah
ada kabar tentang Rama. Tidak pernah ada warna lagi yang pernah mewarnai
hidupku di masa putih biru.
“Terus, Rama sekarang
dimana Yu?” tanyaku sangat cemas.
“Di Rumah sakit Cipto
Mangun Kusumo.”
“Jakarta?”
Ayu mengangguk. “Mamamu
juga sudah tau kok, soal Rama.” Jelas Ayu.
“Hah, mama sudah tau?”
tanyaku kaget. Mataku langsung melirik kearah mama. “Kenapa mama nggak pernah cerita?”
tanyaku pada mama.
Mama menoleh kearahku. Terlukis
sekali di wajah mama yang merasa bersalah. “Maafkan mama, Sayang! Mama cuma
nggak mau kamu sedih, Nak!” terang mama. “Nanti kita jenguk Rama ya.” Lanjut
mama berusaha menenangkan aku.
Aku hanya bisa
menghembuskan nafas panjang. aku hadapkan kepalaku kearah kaca jendela mobil,
mencoba menahan air mataku agar tidak tumpah kembali. Ayu hanya bisa mengelus
pundakku lembut, mencoba memberiku kekuatan.
***
Jangan biarkan masa pergi
menghilang. Karena ku kembali hanya untukmu. Langkahku terhenti pada satu
titik. Sosok yang sangat lemah dengan berbagai selang yang menyelimutinya.
Wajah yang dulu selalu ceria, kini tinggal bersisa kebekuan. Wajah yang sangat
putih, seputih kapas. Saat itu juga aku dapat menangis. Entah mengapa air
bening dimataku ini, mampu terjatuh membasahi pipiku. Ya Allah, sungguh aku
takut kehilangannya.
“Puttt… tri…” panggilnya
terbata, saat melihatku.
Aku terduduk
disampingnya, dengan isak tangisku yang tak bisa lagi aku sembunyikan. “Rama…
kenapa jadi begini sih? Kenapa kamu nggak pernah mau terbuka sama aku, tentang
penyakit yang kamu alami? Aku hanya ingin lihat kamu tersenyum, Ram! Bukan ini
yang ingin aku lihat!”
“Ma… afkan a…ku, Put!
A…ku cuma ng…gak ma…u buat ka…mu se…dih. Bisa ke…nal ka…mu aja, a…ku sudah
se…nang. Kamu yang su…dah buat a…ku ku…at hi…dup. Sekarang, a…ku ma…u lihat
ka…mu ter…senyum, Put! Sekali ini… aja. Aku mo…hon tersenyum…lah untuk…ku!
Biarkan aku per…gi mem…bawa senyuman…mu!”
“Bagaimana mungkin aku
bisa tersenyum melihat kondisi kamu yang seperti ini, Ram? Aku nggak bisa, Ram!
Nggak bisa.” Air mataku terus berjatuhan. Kini rasa takutku semakin kuat. Ya
Allah, aku mohon jangan biarkan dia pergi dari hidupku.
“Put… aku mo…hon
ter…senyumlah. Mung…kin saat ini, a…ku akan ber…temu dengan cinta…ku yang
sesungguh…nya. A…ku akan ber…temu Allah! Ja…ga diri…mu baik-ba…ik ya. Ke…jar
mimpi…mu! Tetap sema…ngat! Hhh…” Rama menarik nafas. “Laa… illa… haillallah…”
Tut…tutt…tut…tuttttt…
Grafik mesin pendetak
jantung itu, berubah lurus beraturan. Kini aku tak mampu untuk bangkit. Aku
melemas. Dan ayu berusaha untuk menjadi sandaranku, di pementasan duka ini.
***
“Ya Allah, aku masih
punya rasa, punya cinta, karena aku manusia. Ya Allah, Engkaulah Dzat Yang Maha
Cinta. Berilah aku kekuatan agar aku bisa melangkah, agar aku bisa merasakan
arti hidup ini.”
Selesai sholat, aku
melangkah menuju meja belajar, mengambil sebuah diary bercover doraemon yang
sudah lama menemani hari-hariku. Sebuah kenang-kenangan dari Rama. Aku jadi
ingat perkataan mama. Walau Rama sudah tidak ada lagi. Tetapi Allah masih ada
dan selalu ada untukku. “Hmm… durasi yang begitu sangat singkat sebuah
perjalanan kita. Namun butuh begitu lama durasi yang harus aku lupakan. Kini
aku harus fokuskan pada cita-cita. Berfikir lebih dewasa. Dan tetap ikhtiar tanpa
putus asa. Aku yakin, pasti Allah akan selalu membantu.” Tekatku.
Ku
ambil pulpen, lalu mencoba menulis sebuah curahan hati di lembar diary bercover
doraemon berikutnya. Sebuah kalimat terus mengalir dan tertuang di lembaran
itu.
Ya Allah
Selalu teringat dalam
memoriku
Masa putih biru, penuh
sejuta warna
Dimana hatiku jatuh cinta
Untuk pertama kalinya
Ya Allah
Aku tau, aku masih
terlalu kecil
Untuk merasakan itu semua
Aku takut hatiku tertipu
nafsu
Karena itu, aku
mencintainya dalam diam
Ya Allah
Dimasa putih abu-abu
Aku selalu berharap dia
selalu bahagia
Ya Allah
Pertemuanku dengannya ini
Bukan untuk menyaksikan
kepergiannya
Ya Allah
Indah cinta yang Kau beri
Sungguh, aku selalu
menginginkan dia selalu ada
Dan tetap ada di dunia
ini
Namun, jika ini adalah
hal yang terbaik untukku
Berikanlah kekuatan di
hati ini
Ya Allah
Bolehkah aku meminta satu
permohonan?
Ya Allah
Kumohon kembalikan
senyuman indah di dunia barunya
Ya Allah
Mungkin hanya melalui
diary ini
Ku kirimkan curahan
hatiku
Inilah diary untuk-Mu
Andai Kau masih memberiku
waktu
Untuk lebih lama lagi
melihat senyuman nyatanya…
***
MY BIODATA
Namaku
Najla Putri Mawaddah. Lahir di Tangerang, 31 Januari 1996. Saat ini aku
melanjutkan studyku di Pondok Pesantren Modern Al-Mizan yang terletak di
Cikole, Pandeglang-Banten. Di pondok aku aktif di bagian jurnalistik yakni
menjadi anggota Mizan Pos dan Techno Center. Juga aktif di bidang seni yakni
Menyanyi, Menari, dan Drama. Karya-karyaku allhamdulillah selalu dipublikasikan
di majalah Al-Mizan. Majalah yang diciptakan dari pondokku sendiri. Cerpenku
juga pernah di publikasikan di Majalah Nur Hidayah di edisi khusus ramadhan.
No.
hpku : 081911143825
My
Email and facebook : story_najlapm@hotmail.com
My
Twitter : @NajPutri31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar